Wednesday, 14 October 2015

Janji Dandelion

Hii! gue mau ngepost cerpen yang pernah gue buat bareng 2 orang temen gue..
Selamat membaca! :D




JANJI DANDELION

Hari itu adalah hari yang indah. Terlihat sekelompok anak sedang bermain layangan, suara riang dan gelak tawa menyelimuti suasana taman itu. Tak ada yang menyadari, di salah satu pojok taman, terdengar suara tangis di antara bisikan angin. Seorang gadis kecil meringkuk memeluk lututnya di balik rerumputan. Isakan-isakan kecil lolos dari mulutnya.
Di tengah derai tangisnya, gadis itu tidak merasakan kehadiran orang lain yang kini duduk di sampingnya. Seorang anak laki-laki tengah memberi senyuman padanya. Ajaib. Ketika gadis kecil itu menengok pada ‘teman’ baru itu, air mata berhenti mengalir dari kedua bola matanya.
“K-kamu siapa?” tanya gadis kecil itu.
“Namaku Nathan. Alvin Jonathan,” balasnya ramah, “siapa namamu?”
“Aku…namaku Sivia Priscillia, tapi papa dan mama memanggilku Sivia.
“Kalau begitu, aku akan memanggilmu Via saja. Via, kenapa kamu menangis?” tanyanya.
“Papa dan mama jahat, mereka bohong. Padahal hari ini ulang tahunku dan kami akan pergi ke taman hiburan, tetapi mereka malah sibuk bekerja,” jawab gadis itu diselingi segukan-segukan kecil yang kini muncul kembali di antara kalimatnya.
“Kamu tidak perlu menangis, mereka tidak akan ingkar janji kepadamu,” hibur Nathan lembut.
“Tapi-tapi…” Sivia malah mulai menangis lagi.
“Sshhhstt…jangan menangis. Sini, ikut aku. Aku akan menunjukkan sesuatu yang menarik padamu.”
Anak laki-laki itu membawa Sivia ke sebuah padang rumput di dekat taman itu.
“Kita mau apa ke sini?”
“Tunggu sebentar,” Nathan kemudian melepaskan genggaman tangannya pada Sivia dan mulai berjongkok mencari sesuatu di antara rerumputan.
Tak lama kemudian…
“Ketemu!” serunya riang, “Sivia, berhentilah menangis, ayo kemari.”
“Itu apa?” Sivia perlahan berjalan menghampiri Nathan.
“Ini dandelion. Kata mamaku, bunga ini adalah bunga penyampai pesan. Bunga ini juga akan membawa pergi semua kesedihanmu,” terangnya.
“Benarkah? Bagaimana bisa?”
“Sini,” Nathan kemudian memberikan bunga dandelion itu ke genggaman Sivia, “katakan apa yang ingin kamu sampaikan pada papa dan mamamu, lalu tiuplah bunga itu. Setiap bunga kecil dari bunga itu akan pergi membawa kesedihan dan menyampaikan pesanmu itu.”
Via hanya mengangguk kecil dan menuruti kata-kata Nathan, ia menarik nafas dan meniup bunga itu sekencang-kencangnya.
“Bunga dandelion yang cantik, tolong sampaikan pada papa dan mama supaya mereka cepat pulang ya. Via mau ngerayain ulang tahun Via bareng papa sama mama,” Sivia mengucap pelan sambil memejamkan matanya.
“Terima kasih,” Sivia menoleh pada anak laki-laki itu dan tersenyum manis, “kamu benar, kesedihanku seperti ikut terbang bersama mereka, aku lebih lega sekarang.”
“Baguslah kalau kamu tidak sedih lagi, wajah menangismu itu sangat jelek tahu,” ejek Nathan seraya menjulurkan lidahnya.
“Ihh… enak saja. Via ini manis tahu,” balasnya dengan muka cemberut.
“Hahaha, mukamu bertambah jelek saja kalau begitu. Hahaha,” Nathan malah bertambah semangat meledek Via kecil.
“Nathan jahat! Nanti Via nangis lagi nih!” ancamnya masih dengan bibir yang dimajukan.
“Eh, jangan! Iya deh, aku nggak ngeledekin lagi, tapi jangan nangis lagi ya,” seru Nathan panik.
Melihat reaksi Nathan yang mulai panik, Via malah tersenyum geli, “hihi, reaksi kamu lucu deh. Iya. Via janji nggak bakal nangis lagi.”
“Janji ya?” tanyanya sambil mengacungkan jari kelingkingnya ke hadapan Via.
Via terdiam sejenak, “iya, Via janji deh.”


Ya, itulah titik awal persahabatan mereka. Pertemanan polos khas anak-anak, yang mengenang di ingatan masa kecil mereka. Tak disadari, sudah 11 tahun berlalu. Dari anak perempuan dan laki-laki kecil berusia 7 tahun, kini mereka telah tumbuh menjadi remaja 18 tahun yang cantik dan tampan.
Tapi, tidak ada yang abadi dalam hidup ini. Ketika ada suatu perjumpaan, suatu saat akan ada pula perpisahan.
“Lo beneran harus pergi, Than?” tanya seorang gadis, Via.
“Ya iyalah, gue kan udah keterima di univ sana, masa iya gue gak jadi pergi?” sahut laki-laki di hadapannya itu, Nathan.
Air mata mulai muncul di pelupuk mata gadis itu, “t-tapi lo janji ya bakal contact gue di sana?”
“Iyaa, gue janji Via tembem. Lo juga jangan lupain gue ya. Sekarang kan banyak socmed, gue bakal sering-sering contact lo.”
“Kalo lo terlalu asyik di sana sampe lupa sama gue gimana? Terus kalo gue sedih siapa dong yang bisa nemenin gue?” gadis itu mulai panik.
“Aduh, lo itu emang gak berubah ya. Dari kecil sampe sekarang masih aja bawel. Gue gak bakal ngelupain elo, sahabat yang paling gue sayang. Kalo lo sedih, liat aja liontin ini, ini bukti kalo gue bakal selalu ada sama lo,” jawab Nathan sambil memberikan seuntai kalung dengan liontin berbentuk bunga.
“Than, bunga ini kan…”
“Iya, dandelion. Bunga kenangan dari mama gue, juga kenangan kita. Lo inget kan?”
“Iya, gue inget kok. Makasih ya. Gue janji gak bakal ngelupain lo dan akan sering ngehubungin lo.”
“Sip. Lo jaga diri ya selama gue gak ada,” jawab Nathan sembari menatap mata Sivia.
Tatapan. Tatapan mata itu sungguh penuh arti. Sulit untuk mengartikan arti dari sebuah tatapan. Begitupun dengan hati. Hati sangat sulit didengar, sangat sulit dirasakan.
Seketika, Sivia memeluk Nathan.  
Tesss. Tak disadari, air mata Nathan terjatuh. Dibalik pelukannya, Sivia pun demikian. Tak ada satupun kata terucap diantara keduanya. Hanya ada perasaan cemas dan sakitnya perpisahan yang memenuhi hati kedua insan itu.
Pesawat FA271 tujuan Paris akan segera berangkat. Penumpang dipersilakan untuk segera  melakukan boarding.
Secepat kilat. Keduanya saling menghapus air matanya. Menghapuskan kesedihan. Menyembunyikan perasaan sedih dan kehilangan. Pelukan hangat itu pun terlepas.
“Tuh, pesawat gue udah mau berangkat. Gue pergi ya,” sahut Nathan setelah mendengar pengumuman sambil tersenyum menutupi kesedihannya.
“Hati-hati ya. Lo juga jaga diri di sana!” seru Sivia melambaikan tangannya pada Nathan yang mulai membalikkan badan ke arah Oma dan papanya yang telah menunggu di dekat gate untuk mengucapkan salam perpisahan.
Gadis itu tidak tahu, bahwa saat itu, mungkin akan menjadi terakhir kali ia bertatapan secara langsung dengan sahabat tersayangnya.
Bila kau harus pergi
Meninggalkan diriku
Jangan lupakan aku
                                        
Teng.. Teng… Jam dirumah Sivia berbunyi. Waktu menunjukkan tepat pukul 12 malam. Di tempat tidurnya, mata Sivia sudah terpejam. Tampak selimut menutupi tubuhnya dengan hangat.
“Hai Sivia,” tiba-tiba Nathan muncul dihadapannya. Terlihat Nathan mengenakan baju putih bersih. Ia tampak sungguh tampan.
“Hai…,” jawab Sivia dengan terbata-bata tertegun melihat Nathan.
Nathan bergerak ingin memeluk Sivia. Sivia pun membuka tangannya untuk menerima pelukan Nathan.
Namun, tangan Nathan dan Sivia tak mampu bersentuhan.
“Nathan, kenapa gue gak bisa nyentuh lo?” tanya Sivia dengan nada terisak.
“Sivia, gue harus pergi,” Nathan melambaikan tangan pada Sivia.
“Nathan! Lo cuma bercanda kan?” bentak Sivia.
“Maaf, gue gak bisa nemenin lo lagi. Waktu gue udah abis,” jawab Nathan lirih.
“Bohongg… Gak mungkinnnnnn!!!! Semua ini bohonggggg,” teriak Sivia.
“Selamat tinggal Sivia. Selamat tinggal sahabatku,”
Perlahan, sosok Nathan menghilang dalam kegelapan
“Nathaannnn! Jangan pergiiiii!” Sivia berteriak dengan suara keras. Tak disadari, Sivia terbangun dari tidurnya.
Mimpi. Syukurlah itu hanya mimpi. Apa arti mimpi itu? Tanya Sivia dalam hati.
                                       
Hari itu adalah malam yang senyap. Gadis itu sedang makan malam bersama dengan papa dan mamanya sambil menyaksikan acara di TV. Gerakan tangan papanya yang tengah mengganti-ganti channel TV berhenti di suatu acara berita. Kecelakaan Pesawat.
Selamat malam pemirsa, kami mendapat berita bahwa pesawat FA271 tujuan Paris telah kehilangan kontak dengan sentral komunikasi dan masih belum diketahui keberadaannya. Diperkirakan, pesawat yang direncanakan sampai di Charles de Gaulle Airport mulai kehilangan jejak sejak terbang melewati perbatasan antara Eropa dan Asia.
Jantung Sivia seakan-akan berhenti sesaat mendengar berita tersebut.
Nathan.
Nathan.
Pikirannya segera tertuju pada Nathan.
“Ma, Pa, Nathan. Nathan naik pesawat itu, Ma. Nathan ada di pesawat itu,” Sivia panik, ia kalut.
“Kamu serius, sayang?”
“Serius ma….,” Sivia tak mampu berkata-kata lagi.
Pikiran Sivia sangat kacau. Berita itu benar-benar membuat Sivia ketakutan. Ya, takut. Takut akan kehilangan sosok Nathan yang begitu ia sayangi.
Mimpi. Aku teringat mimpi itu. Ya Tuhan, tolong jawab aku. Apa maksud mimpi itu? Apa ini maksud dari mimpi itu? Aku akan kehilangan Nathan. Benarkah ini Tuhan? Ku mohon, semoga ini hanya mimpi. Siapapun… tolong… tolong bangunkan aku… .
Tidak. Ternyata Sivia tidak bermimpi. Ini kenyataan. Benar-benar kenyataan yang sangat pahit.
Nathan… lo dimana? Apa lo selamat? Dimanapun lo berada. Seperti apapun keadaan lo saat ini. Gue harap semoga lo baik-baik aja. Tuhan, tolong selamatkanlah Nathan…
Tak henti-hentinya pikiran Sivia terpusat pada Nathan. Tak pikir panjang lagi, Sivia cepat-cepat menuju Bandara Soekarno-Hatta.
“Tunggu Siviaaa,” teriak papa dan mama.
Sivia menunggu kabar mengenai hilangnya pesawat Nathan. Berjam-jam waktu berlalu, namun belum ada kabar mengenai pesawat itu.
Deg… deg... deg... Jantung Sivia berdebar kencang. Ketakutan menyelimuti pikirannya. Sivia tak mampu memejamkan matanya semalaman, hatinya terlalu kacau untuk dapat mengistirahatkan tubuhnya.
                                         

Pagi yang cerah. Tak ada awan dilangit. Langit tampak bersih dengan warna birunya. Tap... tap... bunyi langkah kaki berlalu lalang menghiasi suasana pagi.
“Mbak, bangun mbak,” seorang petugas kebersihan membangunkan Sivia.
“Oh iya mas, maaf maaf,” Sivia pun terbangun dari tidurnya.
Ia baru saja tertidur selama 2 jam setelah menunggu datangnya kabar dari pihak penerbangan.
Bagi para penunggu informasi kecelakaan pesawat, kami mohon maaf karena masih belum ada informasi lebih lanjut dari pihak penerbangan.
Terdengar bunyi pengumuman menggema diseluruh isi bandara. Sivia pun memutuskan untuk pulang dan menunggu kabar dirumah.
                                           
Dua hari berlalu sejak berita kecelakaan itu diberitahukan. Sivia tak juga mendapat kabar mengenai pesawat tersebut. Besar harapannya akan kepulangan Nathan dengan selamat.
Kringggggg…
“Halo,” Sivia mulai mengangkat telepon itu.
“Halo, Sivia? Ini dengan papa Nathan,” jawab telepon itu.
“H-Halo Om. Apakah sudah ada kabar mengenai Nathan?” tanya Sivia dengan nada penuh ketakutan. Sivia tak siap mendengar kabar mengenai Nathan.
“Begini Sivia, Om harap kamu dapat mendengarkan berita ini dengan baik. Baru saja pihak penerbangan menelpon Om dirumah. Sivia….,” seketika terdengar isakan tangis papa Nathan.
“Om kenapa? Ada apa? Tolong jawab saya Om,” pinta Sivia dengan penuh kekhawatiran.
“Nathan sudah tidak ada. Tak ada yang selamat dari kecelakaan pesawat itu. Jasadnya akan segera dipulangkan ke Indonesia,” jawab Om dengan terbata-bata diiringi isakan tangis yang mendalam.
Nafasnya serasa tercekik. Sekujur tubuhnya membeku. Bagai kilasan telenovela, telepon yang ia pegang lepas dari genggaman tangannya.  Ia jatuh terduduk di lantai, badannya lemas seketika.
Air mata mulai menetes dari mata Sivia. Satu tetes, dua tetes. Setiap butiran air mata terus berjatuhan, membentuk aliran sungai kecil di pipi mulusnya.
“Sivia sayang, kenapa kamu nangis?” seketika mama Sivia menghampirinya.
“Nathan, Ma… Nathan. Nathan meninggal,” jawab Sivia dengan isakkan tangis. Ia segera memeluk mamanya.
Hidup. Kehidupan. Tidak ada yang mengetahui waktu pertemuan. Tidak ada pula yang mengetahui waktu perpisahan. Suatu saat nanti, kehidupan akan berakhir, dan kematianlah yang mengakhirinya.
                                           
Waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi. Jasad seluruh korban kecelakaan pesawat tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Begitupun dengan Nathan. Kini Nathan kembali tanpa nyawa.
Sivia memasukki ruangan yang berisi korban kecelakaan. Ia berdiri disebelah peti Nathan. Nathan tak berwujud lagi. Hanya bagian-bagian tubuhnya yang ditemukan.
“Nathann…,” Sivia mulai menangis lagi.
Sivia mulai menatap bagian-bagian tubuh Nathan. Tubuh itu sudah berwarna pudar sekarang. Darah yang membalut tubuhnya sudah membeku. Tiada lagi kehidupan di dalam diri Nathan.
Nathan. Kenapa kamu pergi secepat ini? Kenapa kamu meninggalkan aku sendiri?
Tak henti-hentinya Sivia menangis. Meratapi kepergian Nathan. Masih tak dapat dipercaya oleh Sivia. Nathan telah pergi. Jauh. Jauh darinya. Hancur sudah. Semuanya telah berakhir. Saat ini. Di waktu ini.
Tuhan… andai aku bisa meminta satu hal, aku akan meminta, hidupkanlah dia. Kembalikanlah nyawanya.
Sivia terus menatap peti kayu tempat raga tak berenyawa itu terbaring. Tak sanggup dan tak mampu menerima kepergian Nathan.
                                        
Wuss…. Angin menerpa pepohonan didekat sebuah makam. Sebuket bunga mawar diletakkan  di atas tanah.
Rasanya ingin sekali gadis itu menemani Nathan didalam tanah, menemaninya dalam kegelapan, kesunyian, dan kedinginan yang abadi.
“Nathan, udah dua bulan sejak lo pergi. Lo gak kasihan sama gue yang nangis setiap hari gara-gara lo? Kok lo tega sih sama gue? Gue udah sebelas tahun sahabatan sama lo. Lo tuh udah kayak kakak yang nggak pernah gue punya selama ini. Lo yang selalu ngejaga gue, ngajarin gue. Selama ini, gue hampir selalu sama lo. Kalo lo pergi tiba-tiba begini, gue harus gimana? Gue masih gak bisa ngelepas lo dari hidup gue. Please bantu gue,” isak seorang gadis di dekat sebuah batu nisan. Terukir:
Alvin Jonathan
1997-2014
Tidak ada yang tahu sudah berapa lama gadis itu duduk di sana, menangisi kepergian sahabatnya yang paling ia sayangi. Semilir angin berhembus membelai rambut Sivia pelan, ia menolehkan kepalanya dan melihat bayangan Nathan berdiri di hadapannya sambil tersenyum manis.
“Via, gue tahu kok kalo lo itu kuat. Lo itu sahabat gue yang paling tegar, mungkin Tuhan mau lo ngebuktiin kalo lo itu sebenarnya bisa tanpa ada gue sekalipun.”
“Nathan, tapi gue takut sendirian. Gue takut gak ada lo di samping gue.”
Ia kembali tersenyum ringan, “Gue gak akan pernah ninggalin lo. Ingat liontin itu, dan ingat dandelion itu. Lo gak perlu sedih dan takut, karena lo gak pernah sendiri. Gue akan selalu ada bersama lo. Jangan sia-siain hidup lo nangisin gue, Via. Udah cukup dua bulan ini saja. Lo harus bisa ngeliat ke depan. Hidup lo masih panjang. Temen lo bukan cuma gue. Lo pasti bisa.”
“Nathan…,” rintih Via
“Gini deh, gue bakal ngasih lo hadiah kecil, dan setelah lo dapat hadiah itu, lo harus janji sama gue kalo lo gak bakal kayak gini terus. Oke?”
“Hadiah apa, Than?”
“Bentar lagi juga lo tahu. Pokoknya lo janji ya?”
“Iya. Gue janji.”
“Oke, kalo begitu, sekarang tutup mata lo.”
Sivia menurut dan memejamkan kedua kelopak matanya
“1, 2, 3…”
Sivia membuka kedua matanya. Ia mendapati dirinya duduk di samping nisan Nathan tempat ia menangis tadi. Ia tidak melihat siapa-siapa.
“Jadi, tadi itu cuma mimpi? Hhhh…,” ia menghela nafas kecewa, mengingat-ingat apa yang terjadi di mimpinya. Tiba-tiba, angin kembali berhembus. Ia menoleh ke sebelah kanannya. Di atas nisan Nathan, ia melihat dua tangkai bunga dandelion kecil di sana. Ia segera bangkit berdiri dan melihat ke kanan dan kiri. Ia tidak melihat bayangan Nathan.
“Lo, udah dapet hadiahnya. Sekarang lo harus tepatin janji lo ya, Via,” ia mendengar bisikan kecil bersama dengan hembusan angin sejuk di telinganya. Senyum kecil merekah di wajahnya yang dulu chubby.
“Iya, gue janji,” balasnya berbisik pada angin lalu.
Ia kemudian mengambil satu dari dua dandelion yang ia temukan tadi. Ia memejamkan matanya dan mengucap pelan, “bilang sama Nathan kalau aku akan lebih kuat sekarang, dia gak perlu terlalu cemas ataupun khawatir. Bilang semoga dia baik-baik saja di sana,” kemudian ia meniup bunga dandelion itu ke angkasa. Membiarkan setiap bunga-bunga kecil itu terbang mengalir bersama angin. Ia tersenyum kecil.
Kini, memang tinggal cerita kita yang tersisa di bumi ini. Hanya satu harapanku. Semoga di lain waktu, di lain kehidupan, kita bisa bertemu lagi. Mungkin, aku tak lagi ingat siapa kamu dan juga siapa diriku. Mungkin pula, aku tak lagi berwujud manusia. Tapi... semoga hidup ini mampu membawa kenangan. Kenangan yang akan mempertemukan kita dikehidupan nanti. Aku menyayangimu, sahabatku. Selamat tinggal Nathan, aku tak akan melupakanmu.
Gadis itu bangkit berdiri. Ia berjalan perlahan meninggalkan tempat peristirahatan abadi sahabatnya. Ya, gadis itu siap memulai kembali lembaran dalam hidupnya.

Semoga dirimu di sana
Kan baik-baik saja
Untuk selamanya
Di sini aku kan selalu
Rindukan dirimu
Wahai sahabatku
                                        
 “Eh, lo tau gak sih? Buku best seller itu sebenarnya kisah nyata dari penulis sama sahabatnya?”
“Hah? Masa? Novelis Sivia Priscillia itu kan?”
“Iya. Novelnya bagus banget tahu. Lo belom baca?”
“Belom. Judulnya apa sih? Gue mau beli nih.”
“Yahh…masa judulnya aja lo gak tahu? Novelnya laris dimana-mana, lo bisa kehabisan kalo gak cepat beli. Judulnya ‘Janji Dandelion’.”
                                        
END

No comments:

Post a Comment